Friday 9 October 2015

Menunggu Berkata Tapi

Lagi lagi menunggu lagi
Tak lebih asik dari mendapat pohon berduri
Pagi ini hanya mentari yang menyapa sunyi
Bukan tempat ini
Bukan sesak di dada ini
Bukan juga jumlah makhluk di sini
Tapi senyum yang tak kembali

Puncak emas itu sampai memudar
Murung yang disembunyikan
Cahanya hanya keluar
Teringkar dalam lingkar
Dalam topeng perias wajah asli mereka
Apalagi yang kau sangkal?

Tapi justru hal itu yang membuat tiap kurva tempat ini sesuai dengan sebutannya,
Tempat yang dicintai masyarakatnya
Tempat mendua dari cinta yang lainnya

Karena belum tentu yang kau tak tahu tak baik untukmu

Belum tentu mereka bertanduk di kepala
Tapi siapa yang tau mereka bertanduk di telapak kakinya
Indah karena ini pertunjukkan drama
Menyeramkan karena ini realita
Semua bisa berlaku kebalikan
Hanya saja kau harus menggali untuk peti harta

Diamlah sebentar
Sebentar saja
Rasakan

Kembali, aku hanya menunggu di sini.

(Jakarta, 2015)

Friday 18 September 2015

Cahaya dari Tenggara

Pagi ini Raja Penerang masih dalam perjalanan
Menuju hari yang menunggu
Kesatria Malam juga masih menunggu entah dimana
Mungkin di belahan yang lainnya

Hawa dingin masih memelukku
Cukup erat untuk dilepaskan

Saat aku akan menuju antara Barat dan Barat Laut
Dari Tenggara ada yang menatapku
Matanya membekukankuku dari jarak waktu cahaya
Memperhatikanku sampai habis saatnya

Saat aku dan mata dari Tenggara memadu kasih tanpa ada kata
Sang timur menggoda dengan tarian sayatannya
Mencoba mengambil langkah di antara

Tapi tanpa tahu esok akan kembali
Di sini hanya ada kiblat, wanita sang perantara, dan mata dari Tenggara

Sunday 9 August 2015

2 "Cerita Melihat Kedepan"

Ku di bawah awan hitam
Tak pernah sebaik ini, meneduhkan
 dari kesedihan yang mendalam
Ku temukan pohon tumbang
Tak pernah sebaik ini, ku jadikan
 sampan untuk menyebrang lautan
 ke pulau impian

Ku hias dengan asa yang dalam
Senandung elegi melodi
Menyatu di perjalanan masa depan

semua bercampur jadi satu
Menyatu dari kalbu sampai batu
Terakhir....


Gelitikan Memori

Jangan belai aku dalam kenangan
Hati mulai lelah merasa resah
Cukup semua cakap pelikan yang terdengar
Jangan jantung yang berdebar

Kemarin sebelum matahari terbenam
 tak kusangka akan melihat bola
 mata yang menyeret cerita dalam benak
Tapi siapalah aku sekarang
Mungkin hanya lembaran tersisih untuk
 dibaca di masa depan
Atau aku hanya luka bakar yang ditutup
 karena susah dihilangkan?
Mungkin yang lainnya

Tapi, siapa aku sebenarnya?
Saat dihadapanmu
Atau saat tidak
Bolehkah aku mencari tahu?

Friday 5 December 2014

Bintang di Bumi Kemampuan

Derpa bilangan santer terdengar
Gejolak Bintang tak bisa tuk sama
Tambahan terlaksana tanpa seimbang disini-sana

Berkobar rasa di sebelah tangan yang digenggam erat walau ocehan seperti burung camar di Lautan Australia

Degub jantug bisa saja tetap tenang saat pelototan 20 centi meter di depan mata yang tetap tenang bagai Tembok Berlin yang dihancurkan untuk persatuan

Pikiran ingin keluar tapi tak ada tindakan selain menahan untuk meluapkan kata dan emosi atas kepalsuan emosi dan kata yang dibilang pelatihan walau hanya akan jadi celotehan, dicemooh yang terlihat seperti harga gelombang cinta yang dijatuhkan dari Puncak Emas Monas

Mungkin seperti mencari ujung pelangi dibulan Juli

Tanpa keajaiban, putus asa yang didapat

Tapi, tak mau!

Tukik pun tetap ke lepas lautan tanpa tau kemampuan
Insting, aku butuh insting

Hap hap


Pikiran butuh sedikit rehat dengan perlindungan yang mengembang di pohon kehidupan selagi bantuan belum datang

Ini yang menyenangkan
Sendirian mendengar dan meihat angin dari bayangan
Disediakan lahan lagi hamparan rerumputan yang terngiang

Rehat!

Bantuan datang, ya, ketenangan tanpa buah pikiran yang melompat bagai domba domba dalam cerita luar yang datang sebagai magnet mimpi di pelataran kehidupan

Tapi inilah yang perlu dipahami

Masa sulit terlihat bagai bakal bunga di pancaroba

Tutup mata, jalani dahulu

Thursday 3 July 2014

1 "Akan Masa Depan"

Ku dibawah awan hitam
Tak pernah sebaik ini,
Meneduhkan dari kesedihan yang mencakar

Ku temukan pohon tumbang
Tak pernah sebaik ini,
Kujadikan sampan tuk menyebrang lautan kepulau impian
Yang berhias dengan asa terpancar

Senandung, elegi, melodi
Menyatu diperjalanan masa depan

Teracak semua jadi satu
Menyatu dari kalbu sampai batu...
Terakhir.

Sunday 27 April 2014

Salah Bisa Relatif

Di suatu sisi saat merah kalah dengan abu-abu
Engkau disana, dimana mata dan rongga dada berkontraksi
Membuat yang lain menepi
Menyilakan para penyair dengan kaki tak menyentuh bumi

Mendayu-dayu di keramaian bergetar
Membuatku jadi guncar
Terlupa untuk mengejar
Angin yang mendampingi angan

Otak besar otak kecil
Sumsum lanjutan sumsum tulang belakang
Berpakaian gagah dalam pikiran

Harapan tingkat nasional
Dengan berpikir personal
Hampa bukan kenyataan
Bila kau berpikir rasional

Mendekatlah
Kemari cepat!
Waktu tak rehat
Sayang
Sayang
Sayang
Keberuntungan
Sayang